Laman

Senin, 23 Mei 2011

Sasongko Jati

kitab Sasangka Djati karangan R. Soenarto Mertowardojo.
Sasangka Djati adalah sebuah buku bertahun 1932 karya R. Soenarto Mertowardojo yg bertalian erat dgn pandangannya terhadap dunia materil. Dalam sikap hidup ini pakhde Narto membagi pandangannya dalam 3 unsur, yaitu distansi, konsentrasi dan representasi.
a. Distansi
Menurut pakhde, pengertian distansi disini adalah manusia mengambil jarak terhadap dunia sekitarnya, baik dalam aspek materil maupun spirituil. Meskipun begitu, distansi disini tidak dicari untuk distansi itu sendiri, melainkan sebagai jembatan penghubung bagi manusia agar dapat menemukan dirinya sendiri. Semacam tolak ukur kesadaran bagi manusia. Karena segala sesuatu dalam dunia (suka, duka, bahagia, sengsara) ini mengeruhkan kesadaran. Oleh karena itu manusia harus mengambil jarak terhadap dunia dan segala hal ihwalnya. Lebih mudahnya, jika manusia ingin mempunyai arti dalam dunia, maka terlebih dahulu dia harus merenungkan tentang dunia itu.
Distansi sendiri punya anak sikap yg tak bisa dipisahkan, yaitu; rila, narima dan sabar.
a.1. Rila
Sesungguhnya hal yg disebut ‘rila’ itu adalah keikhlasan hati dgn rasa bahagia dlm hal menyerahkan segala miliknya, hak-haknya dalam semua buah pekerjaannya kepada Tuhan, dgn tulus ikhlas, karena mengingat semuanya itu ada didalam kekuasaan Tuhan. Maka dari itu harus tiada suatu pun yg membekas didalam hati..[1]
Berulang kali saya menemukan kata ‘rila’ dalam ajaran ini. ‘rila’ yg bersinonim dgn kata ‘penyerahan’. Sebuah penyerahan yg tidak hanya berwujud dalam perbuatan-perbuatan yg insidentil dan spontan, melainkan harus merupakan sikap hidup yg tetap. Rila selalu menuntut suatu tekad yg dapat kita adakan karena mengharapkan sesuatu yg lebih baik sebagai penggantinya. Tetapi ada faktor-faktor lain juga dalam hidup sehari-hari yg dapat mendorong manusia untuk dapat bersikap ‘rila’ yg antara lain kekecewaan, perubahan, keterikatan dan berbagai penderitaan yg datang silih berganti dan lain sebagainya..
a.2. Narima
Sikap ‘narima’ itu adalah sesuatu harta yg tak habis-habisnya, oleh karena itu barang siapa yg berhasrat mendapat kekayaan, carilah didalam sifat narima. Bahagialah orang yg memiliki watak narima itu dalam hidupnya, karena ia unggul terhadap keadaan tidak kekal..[2]
Distansi juga nampak dalam pengertian narima. Artinya; merasa puas dgn takdirnya (bukan nasib), tidak berontak, menerima dgn rasa terimakasih.
Jika sikap ‘rila’ mengarahkan perhatian terhadap segala sesuatu yg telah kita capai dgn upaya sendiri, maka sikap ‘narima’ lebih menekankan pada apa yg ada, faktualitas hidup kita, menerima segala sesuatu yg masuk dlm hidup kita, baik sesuatu yg bersifat materil, maupun suatu kewajiban atau beban yg diletakkan diatas bahu kita oleh sesama manusia.
Narima tidak menyelamatkan seseorang dari mara bahaya, melainkan merupakan satu perisai terhadap penderitaan (penghayatan subyektif) yg diakibatkan oleh malapetaka. Yg menjadi pusat perhatian disini adalah ‘pikiran’ atau lebih tepat ‘rasa’ akibat malapetaka itu..
a.3. Sabar
Gegambaranipun tijang sabar punika kados dene seganten, ingkang boten bade ambaludag, senaosa toja saking pinten-pinten katahing lepen, manungsa iku sabisa-bisa kudu apengawak segara..[3]
Kata ’sabar’ sering kita jumpai bersama-sama dgn 2 istilah tadi, dan memang merupakan akibatnya. Hanya orang yg menjalankan rila dan narima akan menjadi sabar. Seorang yg dgn rela hati menyerahkan diri dan yg menerima dgn senang hati sudah dianggap sabar dgn sendirinya. Ia akan maju dgn sikap hati-hati, karena sudah menjadi bijaksana berdasar pengalaman.
Kesabaran merupakan “broadmindedness”, kelapangan dada, yg dapat merangkul segala pertentangan, betapapun besarnya perbedaan itu. Kesabaran laksana samudera yg tidak bertumpah, tetap sama, sekalipun banyak sungai yg bermuara padanya..
b. Konsentrasi
Dalam kitab ini, konsentrasi pun di bagi menjadi 2 bagian, yaitu; ‘Tapa’ dan ‘Pamudaran’.


masih ada sambunganya...! :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar